Secercah cahaya menyelinap dari celah-celah jendela, ayam-ayam yang mulai berkokok dengan nyaring, alaunan lagu tahun 90-an terdengar dari rumah tetangga, semakin menambah kesan pada pagi hari. Ku kira libur sekolah kali ini akan sama seperti biasanya ternyata tidak, aku di bebankan dengan pekerjaan rumah. Ibu yang pagi-pagi buta sudah pergi kepasar untuk membeli kebutuhan dapur, kue-kue dan makanan-makanan khas jajanan pasar. Dikarenakan kakak tertuaku akan berkunjung setelah sekian lama tak bertemu.
Butir-butir air mengalir, menyegarkan kembali tubuhku yang penuh dengan peluh keringat. Setelah pekerjaan rumah selesai aku segera bersiap-siap menyambut kedatangan kakakku yang berada di ruang tamu membawa nampan berisi air yang dibuat oleh ibuku.
“Apa, dia mau kuliah di Mesir ?”
“Yang bener aja”
“Pakai uangnya siapa coba”
“Buat makan aja kadang susah, gaya-gayaan kuliah ke Mesir”
“Emang sepintar apa kamu!?”
“Seenggaknya kamu itu kayak Aisyah, bisa lomba kemana-mana, juara satu terus, setiap pulang dari pondok bawa piala, sertifikat, banggain orang tua, cantik lagi”
“Kamu itu ngak ada secuil dari apa yang Aisyah punya”
“Kubur aja mimpi kamu itu, mana mungkin kamu bisa pintar aja ngak”
“Hahaha cih.. sok-sokan”
Begitulah kata kakak tertuaku, bak petir yang menyambar disiang bolong. Aku kira keluarga akan mendukungku dan memberikan semangat, nyatanya tidak aku hanya menelan pil pahit dalam pengharapan. Segera aku meninggalkan ruang tamu, memasuki kamar dengan menahan rasa sesak didada seakan sudah tak sanggup lagi menopang beban ini. Berusaha bertahan untuk tetap tegar namun naasnya mataku tak bisa diajak berkompromi, aku hanya menangis dalam keheningan dan menyisakan semua dalam kesendirian.
Mulai saat itu aku berusaha keras dalam belajar. Kumantapkan hatiku ku yakinkan diriku bahwa aku pantas atas mimpiku. Ku tulikan pendengaranku atas semua orang yang menganggap bahwa aku tak mampu. Aku lebih banyak meluangkan waktu untuk belajar dan saat hari libur sekolah tiba aku mengayuh sepeda tuaku kepinggir kota, terkadang pula aku berjalan kaki agar sampai kesana demi mendapat beberapa lembar uang agar bisa menambah tabungan.
Ujian semester genap akhirnya tiba, aku mulai belajar dengan giat. Hampir dua minggu aku disibukkan dengan ujian kini hari pembagian nilai para siswa. Hingga saat namaku terpanggil dimeja guru, tak disangka nilaiku tak sesuai dengan ekspetasi, kebanyakan nilaiku tak memenuhi rata-rata padahal aku sudah belajar sungguh-sungguh dari minggu-minggu lalu. Guruku hanya bilang bahwa aku harus lebih giat lagi dalam belajar. Hanya menganggukkan kepala, berterima kasih dan mengucap salam sembari beranjak pergi dari sana. Aku pulang dengan lunglai tak bersemangat seperti biasanya, entah kenapa semua kegiatan yang aku lakukan terasa hampa pikiranku hanya tertuju pada secarik kertas diatas meja.
Aku memandang langit dengan lamunan. Masih terpikir olehku kejadian beberapa minggu lalu, seolah mematahkan semangat dalam diriku lagi, merasa tak pantas atas apa yang aku inginkan. Semakin ingin kubuang jauh semakin keras pula mengganggu pikiranku. Semua cercaan, tawaan, dan makian seakan mengelilingi seisi kepalaku. Bersama Semilir angin yang berhembus meliuk-liukkan dedaunan, ingin sekali kutumpahkan rasa lelah dan berkeluh kesah dipangkuan ibu, tetapi aku tak pantas atas itu. Aku hanya bisa menumpahkan rasa itu kala sepi dan kurasakan sendiri, tak terasa sebulir air yang jatuh dari mataku. Bersama dengan rintik-rintik hujan yang mulai berjatuhan membasahi bumi seakan membersamaiku dalam kesedihan ini.
Sore menjelang malam sayup-sayup suara merdu terdengar ditelingaku, seakan menghipnotis. Segera kututup jendela kamar, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mensucikan diri. Digelarnya sajadah dan segera memakai mukena. Ku kumandangkan takbir pada sang pencipta ku yakini bahwa tidak ada yang bisa menandingi kebesaran-Nya. Mataku yang mulai memanas, dadaku terasa sesak, bibirku bergetar, sujud yang menenangkan seakan beban terasa hilang. Ku tengadahkan kedua tangan seraya memohon, merayu, dan merampal do’a-do’a agar dimudahkan dalam setiap urusan. Berharap tuhan mendengar agar segera dikabulkan.
Lantunan kalimat-kalimat yang indah terucap dari bibir, air mata yang sudah membanjiri kedua belah pipi berusaha untuk tetap tenang sedangkan jari jemari terus menyeka, kututup sembari menciumnya dengan khitmad berusaha menenagkan jiwa yang sedang tak baik-baik saja. Tanpa kusadari aku masuk kealam mimpi.
Suara yang menggema dari arah penjuru bumi, membangunkan alam bawah sadar. Ku usap kedua mataku untuk mengumpulkan nyawa yang entah hilang kemana. Segera kusucikan diri lalu kembali menghadap pada-Nya.
“Ya tuhan aku tak setegar Siti Maryam”
“Tak sekaya Nabi Sulaiman”
“Tak secerdas Imam Syafi’i”
“Aku tak tahu apa rencanamu”
” Tapi tak bisakah Engkau berikan aku kehidupan yang tenang tanpa ada kesedihan”
Jari jemariku mulai menyentuh lembar-lembar mushaf tak sengaja menemukan kalimat ‘Tuhanmu tidak meninggalkan engkau dan tidak pula memebencimu'[Q.s Ad-dhuha:3], ‘sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan'[Q.s Al Insyirah:6]. Aku termenung, memikirkan apa selama ini hanya banyak berkeluh kesah tanpa mensyukuri setiap nikmat yang diberikan.
“Aku pasti bisa”
Hanya kata itu yang terucap dari bibirku. Setitik semangat kembali muncul, kubuang rasa keputusasaan. Menyakinkan hati bahwa aku bisa. Belajar dari masa-masa yang telah lalu agar tak terulang kembali. Mulai memperbaiki dari awal, berusaha bangkit dari keterpurukan agar tak berlarut-larut dalam kesedihan.
Tak terasa liburan telah usai, kini pembelajaran mulai efektif kembali bahkan bertambah sibuk. Guru-guru yang mulai mempersiapkan ujian kelulusan untuk pekan yang akan datang. Hari yang kutunggu tiba, hari di mana para murid-murid sibuk belajar dan mulut yang tak berhenti komat-kamit menghafalkan kisi-kisi dari para guru, ada pula yang menyalin jawaban dalam kertas lalu menyelipakan ditempat teraman, entah karma apa yang akan mereka dapat diakhirat kelak. Tiba saatnya guru memasuki ruang kelas murid-murid mulai cemas, lembar-lembar soal ujian mulai dibagikan. Ku kerjakan soal demi soal dengan panas dingin bersungguh-sungguh agar dapat lulus dengan nilai yang terbaik. Tak terasa dua minggu yang disibukkan dengan ujian tertulis, lisan dan praktik telah selesai. Para murid-murid diliburkan pasca ujian sampai waktu yang belum ditentukan.
Setelah menunggu sebulan lamanya akhirnya hari kelulusan kini tiba, dengan memakai baju adat khas Jawa Tengah aku menatap gedung bernuansa putih itu lalu melangkah untuk masuk, disambut dengan dekorasi putih abu, entah kenapa para guru memilih warna itu. Setelah kurun waktu yang lama MC mulai membacakan rangkaian acara. Detik bergulir, hingga saat MC membacakan nama-nama siswa yang lulus dengan nilai terbaik bahkan nyaris sempurna membuat jantungku berdebar.
“Selamat…. Shofia Lefa Arjuani”
“Hah ini beneran sha namaku yang disebut”
“Iya Shofi ku sayang”
“Ih apaan sih”
“Ngak ngak ayo buruan maju”
“Iya”
Dengan perasaan campur aduk aku melangkah dan naik keatas panggung. Kepala sekolah yang memberikan piagam perhargaan serta mengucapkan selamat kepadaku. Sembari berterima kasih aku melangkah turun dari atas panggung.
“Selamat ya Fi”
“Iya makasih Sha dan makasih juga karna kamu udah mau jadi sahabat aku selama ini, saat senang maupun duka, meskipun aku ngak tau kita bakal ketemu ngak nanti”
“Iya sama-sama Fi nanti kalo kita ngak bisa ketemu lagi di dunia, di akhirat kelak jangan lupain aku ya, genggam tanganku jika kamu ngak nemuin aku disurga”
“Dengan kehendak Tuhan Sha, jangan lupakan aku juga ya, genggam tanganku kalo kamu ngak nemuin aku disurga”
Kami berdua tersenyum bersama sembari menikmati petikan gitar dari seorang siswa. Nyayian laguĀ ‘Sampai Jumpa’ terucap dari bibir para siswa-siswa, menangis dan mengenang masa putih abu bersama. Acara kelulusan telah selesai aku beranjak dari tempat duduk berpamitan kepada guru-guru dan mengucapkan kata selamat pada teman-temanku.
Aku menyusuri jalanan dengan senyum mengembang, hatiku berbunga-bunga, mempercepat jalanku agar segera sampai dirumah untuk memberikan kabar gembira pada ibu. Tepat pada depan rumah aku dibingungkan dengan banyaknya orang berkerumun, ekor mataku tak sengaja mendapati bendera merah pojok rumah.
“Ibu”
Hanya satu kata itu yang terucap, segera aku berlari memasuki rumah tanpa menghiraukan apapun lagi. Aku terdiam saat melihat seseorang berbaring dengan kain putih yang menutupi. Ku dekati dan perlahan membuka kain itu, seketika air mataku luruh.
“Tuhan mengapa harus kehilangan lagi”
“Tak bisakah engkau memberiku kebahagiaan sedikit lebih lama”
“Kenapa harus sekarang”
“Kau telah mengambil ayahku beberapa tahun lalu, dan sekarang ibu”
“Aku tahu ibu memang tak memberikan kasih sayang seperti anak di luar sana, tapi aku yakin setiap sujud ibu terselip doa untukku”
Aku hanya menangis menatap jenazah ibu. Dalam benakku, aku kira hari ini kan menjadi hari yang bahagia, aku akan mendapatkan pelukan hangat ibu nyatanya sebelum aku mendapatkannya ibu telah pergi, hanya menyisakan aku sendiri.
Usai pemakaman ibu aku duduk termenung, masih ku ingat saat masa-masa kecilku, tawa dan seyuman yang tulus terlintas dalam benakku. Jari-jemariku membuka mushaf secara acak dan menemukan kalimat ‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya'[Q.s Al-Baqarah:286], ‘setiap yang bernyawa akan merasakan mati'[Q.s Al Imran:185]. Aku terdiam, ingin sekali aku menyalahkan takdir atas semua ini tapi aku tak bisa berbuat apa-apa semua sudah terjadi atas kehendak tuhan yang maha kuasa.
Tujuh hari selepas kematian ibu, aku bagaikan sebatang kara, sanak saudara yang tak menerimaku untuk masuk dalam hidup mereka. Mencoba untuk terbiasa sendiri, meski tak ada yang membersamai. Menguatkan hati dan menata kembali semangat yang telah redup.
Setelah menuggu beberapa minggu lamanya akhirnya aku sampai ditempat ini, tempat penyeleksian untuk mendapatkan beasiswa. Kutatap gedung yang menjulang tinggi dengan warna putih yang bercampur kehijauan, mengucap basmalah sembari melangkah masuk. Mataku menatap orang-orang sekitar, hatiku resah, khawatir jika nanti akan gagal. Mulai kubuka buku catatan agar dapat mengingat kembali apa yang telah kupelajari. Waktu berlalu kini giliranku, kakiku melangkah maju, butir-butir keringat mulai membasahi pelipis, aku mulai panas dingin. Ku jawab semua pertanyaan dengan santai dan tenang. Sekitar dua jam lamanya, aku keluar dengan penuh rasa percaya diri meski hati masih resah akan hasilnya nanti.
Kupandang langit-langit sore, hatiku tak pernah tenang memikirkan hari itu, bagaimana hasilnya?, jika tidak sesuai dengan harapan. Aku sangat takut jika aku tak bisa mendapatkan salah satu beasiswa. Suara nontifikasi dari ponsel, segera kubuka apa isi pesannya. Mataku terbelalak ketika melihatnya, ku baca dengan hati-hati dan berulang-ulang.
“Ini beneran namaku?”
“Alhamdulillah..”
Segera kulakukan sujud syukur, aku sangat bahagia berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan apa maunya. Aku menangis haru akhirnya aku mendapatkan jawaban atas do’a-do’a ku.
Pagi yang sejuk, ditambah dengan udara dingin membuat ngilu rasanya tulang ini. Kupandang lekat kedua nisan itu, segera kubersihkan, membacakan doa dan menaburkan bunga di atas makam keduanya.
“Assalamualaikum ayah ibu”
“Gimana kabarnya”
“Ayah ibu Shofi kangen..banget”
“Ayah terima kasih karena telah membesarkanku jadi anak yang kuat dan tegar”
“Ibu terima kasih telah melahirkan aku didunia ini”
“Oh iya Shofi izin ya besok berangkat ke Mesir, mungkin ini kunjungan terakhir Shofi kesini “
“Semoga kita bisa kumpul lagi disurga nanti”
“Ayah ibu Shofi izin pamit assalamualaikum..”
Aku melangkah pergi meninggalkan TPU, dengan menahan rasa sesak didada. Kutahan sebisa mungkin agar tak meneteskan air mata.
Aku memandang awan-awan dengan kagumnya, baru kali ini dapat melihat awan dari dekat meskipun tertutup kaca pesawat. Kupasang earphone di telingaku, memejamkan mata dan tersenyum. Mengingat hari-hari yang telah berlalu, setelah melewati perjalanan yang panjang, jatuh bangun dan bangkit kembali akhirnya aku sampai pada titik ini.
Tuhan mengabulkan doa yang selalu kuulang, menyiapkan hadiah yang begitu indah sampai aku tak bisa berkata apa-apa selain menyebut asma-Nya. Barangkali ujian hidup adalah nada-nada syahdu yang mengalun dari surga tapi kamu tak tahu. Yakinlah bahwa tak ada kerja keras yang sia-sia, meski awalnya pahit tapi akhirnya akan berubah menjadi manis. Prosesnya mungkin tidaklah cepat tapi rencana Allah pasti tepat.
By: Sitta